Tags

, , , , ,

Oleh: Morentalisa Hutapea

morentalisa.hutapea@gmail.com

Peningkatan Intensitas Cina dalam Kerjasama Multilateral dalam Kawasan: Sebuah Latar Belakang

Sejak akhir tahun 1970an, Cina tercatat mengalami perkembangan menjadi salah satu negara dengan perdagangan paling dinamis di seluruh dunia.[1] Salah satu faktor yang disebut-sebut sebagai pendorong utama kesuksesan Cina adalah keberhasilan reformasi sistem perekonomian dan perdagangan Cina.[2]  Cina dapat dikatakan mengembangkan suatu sistem menarik yang menggabungkan antara seni membuka pasar dengan tetap mempertahankan kontrol negara. Upaya Cina untuk membenahi sektor domestik dan kebijakan perdagangan luar negerinya kemudian menjadi penyebab meningkatnya hubungan dagang antara Cina dengan negara-negara besar seperti negara-negara Eropa Barat, Kanada, bahkan Amerika Serikat, yang merupakan salah satu negara yang cukup kritis terhadap kebijakan perdagangan Cina. Boleh dikatakan bahwa perkembangan perekonomian  selama beberapa dekade ini sangat dipengaruhi oleh keputusan Cina untuk membuka pintu perdagangannya bagi perekonomian global.[3]

Selain dengan negara-negara maju, perubahan pola kebijakan perekonomian tersebut juga tergambar jelas dalam pola hubungan perekonomian Cina dengan negara-negara lain di kawasan Asia Timur, termasuk dengan Asia Tenggara. Perubahan tersebut termasuk dalam adanya pergeseran-pergeseran yang sangat signifikan dalam hubungan kerja sama regional di antara mereka. Cina sendiri sebelumnya lebih menyukai mekanisme bilateral antar partner dagang dibandingkan dengan mekanisme multilateral yang terikat dalam satu institusi formal.

Banyak pihak dan pengamat yang melihat bahwa fenomena ini sangat menarik. Mengingat penignkatan hubungan di Asia Timur sendiri pada awalnya seperti tidak mengarah pada pembentukan insitusi regional yang sifatnya formal dan mengikat. Faktor sejarah dan ketegangan antar negara mendorong fenomena integrasi kawasan menjadi terhambat. Interaksi antar negara hanya terjadi akibat adanya kebutuhan kepentingan bisnis daripada upaya yang mengacu pada pembentukan institusi regional yang solid.  Akan tetapi semuanya seperti berubah dengan sangat drastis ketika krisis finansial Asia terjadi pada tahun 1997-1998. [4]

Krisis ini bermula ketika nilai mata uang Bath jatuh secara signifikan. Akibat dari jatuhnya nilai Bath arus investasi mengalir keluar dari Thailand, meninggalkan negara tersebut dengan inflasi yang membubung tinggi. Belum sampai satu tahun, perekonomian Thailand dinyatakan krisis dengan banyaknya perusahaan yang dinyatakan bangkrut, angka pengangguran dinyatakan naik secara drastis dan diikuti dengan penurunan daya beli masyarakat. Tidak hanya Thailand, krisis tersebut menyebar dengan sangat cepat dan telah meluluhlantahkan perekonomian sejumlah negara, termasuk Indonesia. Tidak hanya menyangkut aspek finansial, krisis tersebut meluas dan berkembang krisis dimensional yang menyebabkan kemiskinan hingga konflik sosial.

Krisis inilah yang kemudian mendorong terjadinya perubahan pada pola kerja sama negara-negara Asia Timur. Paska krisis tersebut, tiba-tiba saja tercipta begitu banyak kesepakatan, pertemuan-pertemuan serta upaya-upaya pembentukan institusi yang mengarah pada kerja sama multilateral di bidang perekonomian. Para menteri dari masing-masing negara mulai bertemu secara regular dan teratur. Salah satu kerja sama regional yang cukup banyak menarik perhatian masyarakat internasional adalah dibentuknya kerangka kerja sama ASEAN plus Three.

Awal dari terbentuknya badan tersebut dimulai pada bulan Desember 1997 ketika para pemimpin ASEAN bertemu secara informal di Malaysia. Setelah pertemuan informal tersebut, Kim Dae-jung, presiden Korea Selatan pada waktu itu kemudian mengajukan ide pembentukan East Asian Vision Group (EAVG) yang kemudian dibentuk di Hanoi pada bulan Desember 1998. Badan tersebut terdiri dari 26 tenaga ahli yang kemudian memberikan laporan kepada East Asian Study Group (EASG). EASG akan memberikan laporan kepada para pemimpin negara anggota APT mengenai adanya kemungkinan untuk meningkatkan kerja sama regional di antara mereka sehingga membentuk East Asia Summit yang lebih formal[5]. Hasil dari pertemuan tersebut kemudian diinstitusionalisasikan secara formal pada bulan November 1999. Melalui pernyataan bersama atau joint statement, para pemimpin ASEAN beserta Jepang, Korea Selatan dan Cina  setuju untuk membangun mekanisme self help dan suporting mechanism  di Asia Timur melalui kerangka ASEAN+3. Kemudian pada pertemuan Menteri Keuangan ASEAN+3 pada bulan Mei 2000, tercapai kesepakatan untuk membentuk Chiang Mai Initiative untuk menciptakan financial arrangement. [6] Pada prinsipnya, Chiang Mai Initiative berhasil menggolkan kesepakatan untuk memberikan keleluasaan bagi bank sentral ke 13 negara pesertanya untuk melakukan swap terhadap serangan sepekulatif[7].

Analisis Keikutsertaan Cina dalam APT dan Potensi Regionalisasi di Asia Timur: Upaya Peningkatan Stabilitas Kawasan dan Keinginan untuk Menggeser Pengaruh AS di Kawasan

Cina terlihat sangat aktif dalam berbagai kerja sama multilateral dengan negara-negara di Asia Timur, terutama dengan ASEAN. Salah satu bentuk upaya aktif Cina adalah dengan bersedia tidak mendevaluasi Yuan. Devaluasi atau menetapkan  mata uang lebih rendah dari harga pasar akan membuat produk Cina menjadi jauh lebih murah dibanding dengan produk negara-negara lain. Dengan kebijakan devaluasi, Cina sebenarnya memiliki potensi untuk mengalihkan pangsa pasar dari Asia Tenggara ke Cina. Hanya saja, Cina tidak mengambil kebijakan tersebut. Sifat “murah hati” Cina juga diperlihatkan saat memberikan sejumlah bantuan untuk menopang perekonomian Thailand[8]. Pada intinya, Cina terlihat sangat intensif untuk melakukan grouping dengan negara-negara ASEAN guna membentuk wadah yang solid bagi integrasi Asia Timur.

Manuver Cina ini mendapat banyak perhatian karena untuk menciptakan sebuah kekuatan yang mendorong integrasi kawasan Asia Timur, Cina harus banyak berinteraksi dengan Jepang, yang notabene ‘musuh bebuyutan’ bagi Cina. Dipengaruhi oleh faktor historis, hubungan Cina-Jepang sendiri tidaklah berjalan dengan mulus. Terlebih lagi dengan status Jepang sebagai salah satu negara satelit Amerika di Asia.

Sehingga menjadi menarik untuk mengajukan pertanyan kepentingan apa yang melandasi intensitas Cina untuk mengikatkan dirinya dalam sebuah lembaga regional seperti ASEAN + 3. Terlebih mengingat di dalam ASEAN  + 3 ada Jepang yang selalu memiliki ketegangan dengan Cina. Ketegangan Cina-Jepang sendiri tidak dapat dikategorikan sepele. Persoalan sejarah dan penjajahan Jepang di Cina telah menjadi masalah akut bagi hubungan keduanya. Misalnya saja Cina menolak dengan keras keinginan Jepang untuk duduk di dalam Dewan Keamanan PBB. Selain itu ada banyak persoalan politik dan keamanan lain yang memang telah memperkeruh hubungan Cina dan Jepang. Sehingga tidak heran jika muncul pertanyaan, mengapa Cina kemudian mau duduk satu meja dan diikat dalam sebuah kerja sama formal dengan Jepang.

Tentu ada banyak perspektif yang dapat digunakan untuk menjawab pertanyaan ini. Salah satu analisis yang umum digunakan adalah perspektif ekonomi global.  Krisis ekonomi baik yang terjadi pada tahun 1997 memberikan pelajaran yang sangat baik bagi negara-negara di kawasan Asia Timur termasuk Cina mengenai signifikansi kerja sama ekonomi di kawasan regional Asia Timur. Instabilitas kawasan mau tidak mau akan mempengaruhi stabilitas perekonomian masing-masing negara. Globalisasi telah menciptakan sebuah kondisi di mana krisis ekonomi di suatu negara mau tidak mau dapat memberi pengaruh terhadap perekonomian di negara lain. Krisis finansial 1997 sendiri memang dimulai dari masalah finansial di Thailand yang kemudian menyebar ke kawasan. Cina menyadari bahwa koordinasi kebijakan dari masing-masing negara akan sangat berpengaruh sangat penting terhadap perekonomian secara umum.[9] Itu sebabnya stabilisasi kawasan penting untuk diamankan.  Jin Renqing, menteri keuangan Cina pada tahun 2003 menyatakan bahwa kerja sama ekonomi di APT akan sangat berpengaruh bagi terciptanya stabilitas perekonomian di kawasan yang pada akhirnya akan mendorong pertumbuhan ekonomi[10].

Selain masalah stabilitas keuangan global, masalah perdangan juga menjadi isu kunci dalam peningkatan kerja sama perdagangan dengan Cina. Memang bagi Cina, kawasan Asia Tenggara tidak sepenting kawasan Eropa dan Amerika Utara. Dimana Amerika Serikat, Kanada dan sejumlah negara-negara Eropa menempati posisi teratas mitra dagang Cina dan memberikan sumbangan bagi pasar ekspor barang murah dari Cina. Namun tidak dapat dipungkiri, Asia Tenggara memiliki masa depan yang cukup cerah untuk sektor perdagangan. Di luar dari kondisi paska krisis 1997, penduduk Asia Tenggara yang mencapai lebih dari 500 juta dan pembangunan roda ekonomi yang terlihat terus meningkat, menjadikan kawasan ini sebagai area yang menarik bagi sektor perdagangan Cina.   Dalam situs China Daily, dikemukakan bahwa upaya untuk meningkatkan volume perdagangan di antara negara-negara Asia Timur (baik Northeast Asia ataupun Southeast Asia) menjadi salah satu tujuan utama Cina untuk membangun kerja sama ekonomi di regional.

Namun penting untuk melirik sedikit kepentingan Cina akan bahan baku dari kawasan. Ya, kawasan Asia Tenggara selain menjadi ‘calon’ pasar potensial bagi produk Cina, juga menyediakan sumber bahan baku yang dibutuhkan oleh Cina, terutama energi. Cina telah menjadi importer utama bagi bahan baku energi di negara-negara Asia Tenggara. Dari Indonesia, Cina telah berupaya untuk mendapatkan batubara serta minyak dan gas alam. Di Burma, Cina telah menjadi salah satu investor utama untuk pembangunan pipa-pipa gas dari ujung selatan Burma hingga ke Yunnan, Cina Selatan.

Selain bahan baku energi, Cina juag melirik sejumlah bahan galian lain dari negara-negara di Asia Tenggara. Dari Vietnam, perusahaan-perusahaan Cina telah menjadi pemain penting dalam industri tambang nikel. Demikian juga di Laos, di mana perusahaan-perusahaan Cina telah menjadi pemain utama dalam industri pertambangan di sana

Diluar dari perspektif kepentingan ekonomi, tidak sedikit pendapat yang melihat adanya agenda yang jauh lebih besar dari sekadar kepentingan perdagangan dalam keterlibatan Cina dalam proses integrasi Asia Timur. Mohan Malik, salah satu ahli Geopolitik Asia, misalnya, menilai bahwa bagi Cina kerja sama dengan ASEAN merupakan salah satu kesempatan untuk memperlemah pengaruh Amerika Serikat di kawasan.[11] Memang, paska krisis 1997-1998 muncul intensi di negara-negara Asia Timur untuk mulai berdiri mandiri tanpa pengaruh dan tekanan dari negara-negara Anglo-Saxon. Terlebih saat negara-negara Asia Tenggara mulai melihat adanya limit terhadap bantuan yang mereka dapat peroleh dari negara-negara Barat, terutama Amerika Serikat.  Selain itu, resep IMF bagi beberapa negara di ASEAN justru tidak membawa dampak sebaik yang diharapkan. Hal inilah yang kemudian dilihat sebagai kesempatan bagi Cina untuk menjalin kerja sama di kawasan dan membangun relasi tanpa intervensi Barat.  Mohan Malik berusaha untuk mengatakan bahwa di luar kepentingan Cina akan stabilitas perekonomian, Cina juga tampaknya menjadikan wadah kerja sama regional di kawasan Asia Timur sebagai salah satu jalan menuju status major power. Hal tersebut terutama terlihat dari beberapa kerja sama yang juga dilakukan oleh Cina dengan negara-negara di ASEAN, misalnya pembentukan ASEAN+1.

Sikap jelas Cina terhadap Amerika Serikat juga tergambar dengan cukup baik melalui penolakan Cina terhadap masuknya India dan Australia ke East Asian Summit. Negara-negara ASEAN yang masih merasa enggan untuk didominasi oleh Cina menolak untuk mengeluarkan kedua negara tersebut dari EAS dan melihatnya sebagai penyeimbang yang baik bagi Cina di kawasan[12]. Di sinilah APT kemudian berperan penting. Cina kemudian mengajukan proposal guna membentuk lingkaran grup dalam EAS. “[t]he East Asian Summit should respect the desires of East Asian countries and should be led only by East Asian countries[13].” Ujar Wen Jiabao di Kuala Lumpur saat pertemuan tersebut berlangsung.

Cinadengan cerdas telah mengkalkulasi kepentingan nasionalnya dalam upaya integrasi regional di kawasan Asia Tenggara. Sebuah pelajaran menarik bagi Indonesia untuk mulai memperhitungkan secara serius, keuntungan apa yang Indonesia akan dapatkan dari proses integrasi? Jangan sampai, dalam proses ini, Indonesia justru menjadi pihak yang melayani kepentingan negara lain seperti Cina.


[1] Hal tersebut dapat diteliti lebih lanjut dalam paper yang ditulis oleh Dr. Weiguo Lu, Reforms of China’s Trade Policy, research paper no 19 1995-1996

[2] Ibid

[3] Informasi tersebut dapat diakses dalam paper yang ditulis oleh Robert Z. Lawrence, China And The Multilateral Trading System, National Bureau Of Economic Research, diakses dari http://www.nber.org/papers/w12759

[4] Paul Bowles, Asia’s Post-Crisis Regionalism: Bringing the State Back in, Keeping the (United) States Out’ Review of International Political Economy, Vol. 9, No. 2 (Mei, 2002), hlm. 231

[5] Richard Stubbs, ‘ASEAN Plus Three: Emerging East Asian Regionalism?’ Asian Survey, Vol. 42, No. 3 (May – Jun., 2002), hlm. 440-455

[7]  Francis Fukuyama,  Re-Envisioning Asia,   Foreign Affairs, Vol. 84, No. 1 (Jan. – Feb., 2005), hlm. 75-87

[8] Susan L. Shirk, ‘China’s Multilateral Diplomacy in the Asia-Pacific, diakses dari U.S.-China Economic and Security Review Commission 12-13 Februari 2004

[9] ‘Chiang Mai Initiative as the Foundation of Financial Stability in East Asia’ diakses dari situs resmi ASEAN http://www.aseansec.org/17902.pdf

[10] ‘ASEAN Plus Three Mechanism Boosting Regional Economy: Official’ diakses dari Cina Daily Online 9 Agustus 2003 http://chinadaily.com

[11]  Mohan Malik, salah seorang ahli Geopolitik Asia telah mengemukakan pendapat tersebut dalam China And The East Asian Summit:  More Discord Than Accord, Asia-Pacific Center for Security Studies, February 2006

[12] Mohan Malik, op cit. hlm.4

[13] Dikutip dalam Mohan Malik, op cit.